Oleh: Syarif Syahputra (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan) |
Pendahuluan
Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam menyambut mahasiswa baru di lingkungan kampus. Ia menjadi pintu awal
pengenalan nilai, budaya, dan sistem akademik yang akan membentuk watak mahasiswa selama
menjalani kehidupan perkuliahan. Karena urgensi itulah, proses penyusunan panitia PBAK harus
dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal
sebaliknya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa Presiden Mahasiswa UIN SYAHADA
Padangsidimpuan justru mengambil langkah-langkah yang tidak mencerminkan kepemimpinan
yang sehat dan bertanggung jawab, khususnya dalam proses rekrutmen panitia PBAK. Ini
mencerminkan kegagalan akuntabilitas yang cukup serius.
Ketidakbijakan dan tidak akuntabelnya Presiden Mahasiswa UIN SYAHADA dalam proses
rekrutmen panitia PBAK bukan hanya melanggar etika organisasi, tetapi juga menjadi indikator
kemunduran nilai-nilai kepemimpinan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keterbukaan,
meritokrasi, dan partisipasi. Ketika kepemimpinan mahasiswa terjebak dalam praktik elitis dan
otoriter, maka demokrasi kampus hanya tinggal jargon kosong.
penting dalam menyambut mahasiswa baru di lingkungan kampus. Ia menjadi pintu awal
pengenalan nilai, budaya, dan sistem akademik yang akan membentuk watak mahasiswa selama
menjalani kehidupan perkuliahan. Karena urgensi itulah, proses penyusunan panitia PBAK harus
dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal
sebaliknya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa Presiden Mahasiswa UIN SYAHADA
Padangsidimpuan justru mengambil langkah-langkah yang tidak mencerminkan kepemimpinan
yang sehat dan bertanggung jawab, khususnya dalam proses rekrutmen panitia PBAK. Ini
mencerminkan kegagalan akuntabilitas yang cukup serius.
Ketidakbijakan dan tidak akuntabelnya Presiden Mahasiswa UIN SYAHADA dalam proses
rekrutmen panitia PBAK bukan hanya melanggar etika organisasi, tetapi juga menjadi indikator
kemunduran nilai-nilai kepemimpinan yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keterbukaan,
meritokrasi, dan partisipasi. Ketika kepemimpinan mahasiswa terjebak dalam praktik elitis dan
otoriter, maka demokrasi kampus hanya tinggal jargon kosong.
Minimnya Transparansi dalam Proses Perekrutan
Salah satu bentuk kegagalan yang paling mencolok adalah tidak adanya transparansi dalam
proses seleksi panitia PBAK. Prosedur perekrutan tidak diumumkan secara terbuka, Mahasiswa
tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai kriteria seleksi, tahapan yang harus diikuti,
maupun siapa saja yang menjadi penentu akhir. Proses yang dilakukan secara tertutup ini
membuka celah besar bagi praktik kecurangan, manipulasi data, bahkan nepotisme. Lebih buruk
lagi, tidak adanya laporan pertanggungjawaban kepada publik mahasiswa membuat proses ini
nyaris tidak bisa diawasi.
Padahal, sebagai pemimpin tertinggi di ranah kemahasiswaan, Presiden Mahasiswa seharusnya
menjadi contoh dalam menjunjung tinggi nilai transparansi dan akuntabilitas. Setiap keputusan
strategis, termasuk perekrutan panitia kegiatan besar seperti PBAK, wajib dilandaskan pada
prinsip keadilan dan inklusivitas, bukan berdasarkan kedekatan atau kepentingan politik internal.
Praktik Nepotisme dan Politik Balas Budi
Fenomena yang sudah muncul dalam proses rekrutmen panitia PBAK kali ini adalah adanya
praktik nepotisme dan politik balas budi. Panitia yang terpilih bukan karena kapasitas dan
dedikasinya, tetapi karena hubungan personal dengan Presiden Mahasiswa atau elite organisasi
lain.
Akibatnya, posisi strategis dalam PBAK banyak diisi oleh individu yang tidak memiliki
kapasitas kepemimpinan maupun komitmen organisasi. Proses ini jelas mencederai asas
meritokrasi dan mempersempit ruang kaderisasi yang sehat. PBAK yang seharusnya menjadi
ajang edukatif dan inklusif, justru menjadi arena dominasi kelompok tertentu yang berupaya
mempertahankan kekuasaannya.
Pengabaian Akuntabilitas sebagai Nilai Kepemimpinan
Seorang Presiden Mahasiswa idealnya tidak hanya menjadi pemimpin administratif, tetapi juga
pemimpin moral. Namun, kegagalan untuk menjelaskan dasar keputusan dalam perekrutan
panitia PBAK kepada mahasiswa secara luas memperlihatkan rendahnya kesadaran akan
akuntabilitas. Ketika pertanyaan diajukan jawaban yang diberikan hanya bersifat normatif dan
defensif.
Kondisi ini menciptakan budaya impunitas, di mana kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan
tidak pernah ditindak atau diakui. Dalam jangka panjang, budaya ini bisa melahirkan generasi
pemimpin yang terbiasa menghindari tanggung jawab dan lebih mementingkan stabilitas
kekuasaan daripada pelayanan kepada mahasiswa.
Dampak terhadap Budaya Organisasi dan Regenerasi
Ketika proses rekrutmen didasarkan pada faktor-faktor non-objektif, dampaknya akan sangat
terasa pada kualitas organisasi mahasiswa secara keseluruhan. Kepercayaan mahasiswa terhadap
institusi kemahasiswaan akan merosot. Banyak mahasiswa menjadi apatis karena melihat bahwa
tidak ada ruang adil bagi mereka untuk berkontribusi secara nyata. Selain itu, regenerasi
kepemimpinan menjadi tidak sehat. Kader-kader yang kompeten namun tidak memiliki
kedekatan dengan elite organisasi akan tersingkir, sementara individu yang tidak layak terus
dipertahankan karena alasan politis.
Dampak lainnya adalah meningkatnya potensi konflik horizontal di antara mahasiswa. Kubu-kubu yang merasa terpinggirkan bisa membentuk oposisi internal yang mengarah pada ketegangan sosial. PBAK, yang seharusnya menjadi ruang kolaboratif dan edukatif, justru berubah menjadi medan tarik-menarik kekuasaan.
Penutup
Kegagalan Presiden Mahasiswa UIN Padangsidimpuan dalam menjunjung akuntabilitas dalam
proses perekrutan panitia PBAK bukanlah kesalahan teknis semata, melainkan bentuk krisis
kepemimpinan yang sistemik. Ketika posisi strategis seperti panitia PBAK dipolitisasi dan
prosesnya tidak dilakukan secara adil, maka kampus sedang mencetak pemimpin-pemimpin
masa depan yang tidak demokratis.
Sistem perekrutan panitia PBAK dibutuhkan standar operasional prosedur yang jelas dan
mengikat, serta keterbukaan informasi bagi seluruh mahasiswa. Kepemimpinan mahasiswa tidak
boleh menjadi tirani kecil di bawah nama demokrasi kampus. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang
pembelajaran etika, tanggung jawab, dan pengabdian yang sejati.
proses perekrutan panitia PBAK bukanlah kesalahan teknis semata, melainkan bentuk krisis
kepemimpinan yang sistemik. Ketika posisi strategis seperti panitia PBAK dipolitisasi dan
prosesnya tidak dilakukan secara adil, maka kampus sedang mencetak pemimpin-pemimpin
masa depan yang tidak demokratis.
Sistem perekrutan panitia PBAK dibutuhkan standar operasional prosedur yang jelas dan
mengikat, serta keterbukaan informasi bagi seluruh mahasiswa. Kepemimpinan mahasiswa tidak
boleh menjadi tirani kecil di bawah nama demokrasi kampus. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang
pembelajaran etika, tanggung jawab, dan pengabdian yang sejati.
Hidup Mahasiswa........
Hidup Rakyat Indonesia....
Hidup Wanita Yang Melawan.....