Notification

×

Iklan

Iklan Fillo

basreng

Bahlil Lahadalia: Penjaga Investasi atau Perusak Warisan Dunia

Selasa, 17 Juni 2025 | Juni 17, 2025 WIB | 0 Views

 

Oleh : Agil A-M
Wasekum : PPPA HMI KOM. M. DARWIS

Di tepi laut Raja Ampat, nelayan kecil bernama Yosua mengayuh perahu kayunya, menatap cakrawala yang dulu menjanjikan ikan melimpah. Kini, bayang-bayang alat berat tambang nikel mengintai pulau-pulaunya, mengancam terumbu karang yang menjadi nafas kehidupan masyarakat adat. Di balik krisis ini, nama Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menjadi pusat badai. Dijuluki “penjaga investasi” oleh pendukungnya, Bahlil kini dituding sebagai perusak warisan dunia karena kebijakan izin tambang di Raja Ampat, situs warisan alam UNESCO. Dengan pendekatan investigatif, tulisan ini mengungkap kontradiksi kebijakan Bahlil, menyajikan fakta keras, dan menawarkan solusi berbasis teknologi untuk menyelamatkan masa depan lingkungan Indonesia.

Izin Tambang Raja Ampat: Keputusan yang Mengkhianati

Raja Ampat, permata laut dengan 1.500 spesies ikan dan 75% jenis karang dunia, adalah keajaiban alam yang diakui UNESCO. Namun, pada 2024, publik tersentak oleh izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Pulau Waigeo, bagian dari kawasan konservasi ini. Laporan WALHI Papua Barat (2024) mengungkap dua IUP aktif, dikeluarkan tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat adat. Bahlil, sebagai Menteri ESDM, menjadi sorotan. “Saya akan evaluasi IUP,” janjinya di Sorong pada Juni 2025, di tengah teriakan aktivis yang menuduhnya “penipu” karena kurang transparan. Ironisnya, data Kementerian ESDM (2023) menunjukkan hanya 30% dari 1.200 IUP nasional yang memenuhi standar lingkungan. Mengapa Raja Ampat, yang menyumbang Rp 1,2 triliun dari pariwisata pada 2024 (BPS Papua Barat), dikorbankan untuk tambang? Keputusan ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pengkhianatan terhadap warisan alam dan rakyat.

Hilirisasi Nikel: Kemakmuran atau Kehancuran?

Bahlil menjadikan hilirisasi nikel sebagai mantra pembangunan. Indonesia, dengan produksi nikel 1,6 juta ton pada 2024 (USGS), menguasai pasar global. Namun, di balik gemerlap ekonomi, hilirisasi meninggalkan luka lingkungan. Greenpeace Indonesia (2024) melaporkan deforestasi 200.000 hektar di Sulawesi dan Maluku akibat tambang nikel dalam dekade terakhir. Di Raja Ampat, ancamannya lebih fatal: kerusakan terumbu karang dapat memutus mata rantai ekosistem laut, menghancurkan penghidupan 12.000 nelayan lokal (Dinas Kelautan Papua Barat, 2024). “Hilirisasi tak boleh mengorbankan anak cucu,” kata Maria Sumule, aktivis #SaveRajaAmpat, dalam demonstrasi di Sorong (2025). Bahlil menuding pihak asing menghalangi hilirisasi, tetapi tuduhan ini terasa lemah ketika kebijakannya memicu kemarahan rakyat. Solusi baru yang diusulkan adalah “hilirisasi hijau”, mengintegrasikan teknologi rendah karbon, seperti pengolahan nikel dengan energi surya, dan melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.

Korupsi Izin Tambang: Skandal di Balik Kebijakan

Kontroversi Bahlil diperparah oleh dugaan korupsi izin tambang. Laporan Tempo (2024) mengungkap praktik jual-beli IUP, di mana ribuan izin dicabut, namun dihidupkan kembali setelah perusahaan membayar “fee” tertentu. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebut ini “korupsi terstruktur” yang melibatkan elit politik. Transparansi Indonesia (2024) mencatat sektor pertambangan menyumbang 25% kasus korupsi nasional, dengan kerugian negara Rp 50 triliun dalam lima tahun. Di Raja Ampat, IUP dikeluarkan tanpa kajian lingkungan yang memadai, menimbulkan kecurigaan adanya permainan kotor. “Izin tambang di situs warisan dunia adalah skandal moral,” kata Koordinator JATAM, Merah Johansyah (2025). Survei Indikator Politik Indonesia (2025) menunjukkan hanya 42% publik percaya pada integritas kebijakan ESDM, mencerminkan krisis kepercayaan yang dalam.

Solusi Inovatif: Transparansi dan Hilirisasi Hijau

Krisis ini menuntut langkah tegas. Pertama, pemerintah harus mencabut IUP di Raja Ampat dan memberlakukan moratorium tambang di situs warisan dunia. Kedua, hilirisasi hijau harus menjadi prioritas, dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan, seperti pengolahan nikel berbasis energi terbarukan yang telah diterapkan di Australia. Ketiga, untuk memerangi korupsi dan meningkatkan transparansi, pemerintah dapat mengimplementasikan platform berbasis blockchain untuk pengelolaan IUP. Platform ini, seperti yang digunakan di Kanada, memungkinkan pelacakan izin tambang secara real-time oleh publik. OECD (2023) melaporkan teknologi ini meningkatkan akuntabilitas sektor ekstraktif hingga 35%. Dengan penetrasi internet Indonesia mencapai 73% (APJII 2024), platform ini dapat menjadi alat pengawasan masyarakat, memastikan kebijakan tidak lagi diatur di balik pintu tertutup.

Pencerahan Baru: Warisan Berkelanjutan

Bahlil Lahadalia berdiri di ujung sejarah: apakah ia akan menjadi arsitek kemakmuran berkelanjutan atau perusak warisan dunia? Investasi dan pelestarian lingkungan bukanlah musuh. Pandangan baru yang ditawarkan adalah konsep “warisan berkelanjutan”, di mana pembangunan ekonomi tidak mencuri hak generasi mendatang. Hilirisasi hijau, transparansi berbasis teknologi, dan pelibatan masyarakat adat adalah jalan menuju harmoni antara ekonomi dan ekologi. Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, tetapi simbol perjuangan untuk masa depan yang lestari.

Bahlil Lahadalia, dengan kebijakan tambang di Raja Ampat dan dugaan korupsi IUP, menghadapi ujian berat. Fakta keras menunjukkan kebijakannya mengancam warisan dunia dan kepercayaan publik. Dengan hilirisasi hijau, moratorium tambang, dan platform blockchain, Indonesia dapat membuktikan bahwa investasi tidak harus mengorbankan alam. Bahlil harus memilih: menjadi penjaga warisan berkelanjutan atau sekadar pelayan kepentingan sesaat. Yosua dan ribuan nelayan Raja Ampat menanti jawabannya.

×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini