Oleh : Arie Purnomo (Kader HMI Psp- Tapsel) |
Pemimpin sebagai wadah harapan dan agen perubahan kebaikan terhadap ummat, yang harusnya berjalan sesuai fungsinya. Tapi begitu miris, di era globalisasi sekarang para pemimpin cenderung memiliki mindset kuno yang tidak memiliki jiwa merdeka. Konteks kemerdekaan tersebut merujuk kepada mental, pemikiran begitu juga dengan tindakan yang tidak menghilangkan kharakteristik sifat kepemimpinan pada dirinya. Sehingga dalam pengambilan keputusan seringkali tidak solutif dan bersifat reaksioner yang memicu terjadinya berbagai konflik.
Terkadang banyak pemimpin yang hanya menyandang jabatan tapi tidak dengan tanggung jawabnya. Berbagai keputusan yang simpang siur dianggap adil namun pada kenyataannya, hanya menguntungkan segelintir pihak dan mendzholimi banyak orang dengan berselimutkan kepentingan bersama, kesejahteraan ummat, kemakmuran jiwa yang hanya untuk mencapai kepentingan pribadi saja. Semuanya dijadikan sebatas topeng namun ketika diuji oleh realitas hanya menghasilkan omong kosong.
Pati, 2025 ricuh disebabkan oleh hilangnya jiwa kepemimpinan dan rasa tanggung jawab yang harusnya melekat dalam jiwa seorang pemimpin. Hal ini menjadi salah satu pilar contoh kesalahan fatal dalam menetapkan suatu keputusan yang berujung dengan berbagai konflik dan pertikaian bahkan merugikan banyak orang. Tidak hanya sampai disitu saja, ketika kita terjun ke masyarakat, kita dapat melihat bagaimana kepala desa, lurah, bahkan organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan justru terbelenggu dalam ego dan zona nyaman. Hal ini mencerminkan krisis kepemimpinan yang menyebar luas dan sangat mengecewakan.
Krisis independensi seorang pemimpin akan membawa dampak sistemik yang merusak. Dampak tersebut tidak hanya menciptakan budaya-budaya buruk yang dinormalisasi dari satu era ke era berikutnya, tetapi juga melumpuhkan karakter generasi muda. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang bermental lembek dan takut untuk menyuarakan kebenaran. Akibatnya, banyak umat kecil yang putus asa akan harapannya, tertindas oleh keputusan yang tidak seimbang dan keputusan yang mengatasnamakan `kepentingan bersama` padahal sesungguhnya hanya menguntungkan pemimpin dan para pendukungnya saja. Lebih parah lagi, kondisi ini menciptakan banyak individu hebat, layak, dan kompeten harus tersingkir hanya karena pimimpin lebih memprioritaskan orang-orang terdekatnya dengan kompetensi yang tidak jelas. Para intelektual dan pihak-pihak berkualitas lainnya `mati karakter`, dibungkam oleh keputusan yang berdalih independen, padahal pada akhirnya hanyalah topeng belaka.
Menurut pandangan saya, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah jabatan, ia harus siapa `sakit`. Artinya, rasa sakit umat adalah rasa sakitnya juga, yang harus dihadapi, bukan justru menambah penderitaan terhadap mereka dengan berdalih keputusan adil. Sungguh ironis, budaya ini sudah menjadi norma: pemimpin yang sebelumnya berjanji membawa perubahan dan berpihak pada kebenaran, kini rela mematikan kualitas demi divalidasi oleh pihak-pihak belakangnya.
Harapan saya kepada setiap pemimpin, Jadilah pemimpin yang berkarakter kuat dan berani mengambil sikap independen yang selalu berpihak pada kebenaran. Katakan yang benar itu benar, aksikan jika itu layak, tolak yang salah jika itu salah. Berdayakanlah mereka yang berkualitas, tanpa memandang `siapa dia` atau `siapa saya`. Hilangkanlah paradigma usang yang memisahkan kita, karena sesungguhnya kita adalah satu kesatuan yang berjuang demi kemajuan. Jadilah pemimpin yang merdeka dan selalu mengaktifkan hati nurani. Memang, jalan ini mungkin terasa berat, bahkan bisa membuat kita dianggap lupa rumah atau lupa daratan. Namun, percayalah, ketika kita menjadi pemimpin yang berorientasi pada kebaikan, gelombang dinamika kepemimpinan yang menghadang akan selalu dibersamai dengan hati yang tenang dan kebaikan yang abadi.
Seperti kata pepatah: `Lebih baik dijauhi daripada hidup dalam pengkhianatan.` sebab, pengkhianatan terburuk adalah hal dimana saat kita mendzholimi rakyat (banyak orang) melalui keputusan-keputusan yang tidak adil. Panjang umur hal-hal baik. Merdeka seniornya, berikan jua kemerdekaan pada rakyatnya.