![]() |
Oleh: Tri Wulan Sari – Ketua Umum Kohati Komisariat Muhammad Darwis, Universitas Muhammadiyah Mataram |
“Kampus adalah ruang nalar dan amanah intelektual. Namun, ketika perempuan tak lagi merasa aman di sana, masihkah kampus menjadi tempat yang membebaskan?”
Kampus, dalam idealnya, adalah ruang ilmiah yang terbuka, aman, dan menjunjung akal sehat. Di sanalah mahasiswa mengasah nalar dan membentuk karakter. Namun, realitas sering kali bertolak belakang. Banyak mahasiswi hidup dalam ketakutan senyap karena ancaman kekerasan seksual menyusup ke ruang-ruang yang seharusnya mendidik: kelas, organisasi, bahkan dunia maya. Kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram baru-baru ini menjadi pengingat pahit bahwa masalah ini nyata, dekat, dan mendesak. Kekerasan seksual bukan lagi isu pinggiran, melainkan ancaman struktural yang mengguncang integritas pendidikan tinggi. Dalam situasi ini, Korps HMI-Wati (Kohati) memiliki peran strategis untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan kampus yang aman dan berkeadilan.
Kekerasan Seksual: Krisis Struktural di Kampus
Kekerasan seksual di kampus bukan sekadar kasus individu, melainkan masalah sistemik yang berakar pada ketimpangan kuasa, budaya patriarki, dan lemahnya penegakan hukum. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024 mencatat 26,94% dari total kasus kekerasan berbasis gender adalah kekerasan seksual, dengan 14.094 korban berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa, mayoritas berusia 18-24 tahun. Lebih memprihatinkan, 244 pelaku berasal dari profesi yang seharusnya menjadi teladan, seperti dosen, guru, dan tokoh agama. Ketika pelaku adalah figur otoritas seperti dosen atau senior organisasi, dan kampus memilih menutupi kasus demi “nama baik”, korban tidak hanya kehilangan keadilan, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi pendidikan. Krisis ini mengguncang prinsip keadilan sosial dan merusak esensi kampus sebagai ruang pembebasan intelektual.
Payung Hukum yang Terhambat Implementasi
Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual di kampus. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 mewajibkan perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), menyusun prosedur pelaporan, dan memberikan pendampingan bagi korban. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, serta mendefinisikan bentuk kekerasan seksual seperti pelecehan fisik, verbal, dan perundungan digital (Pasal 5-15). Namun, implementasi kedua regulasi ini masih pincang. Banyak kampus belum membentuk Satgas PPKS secara substansial, atau hanya menjadikannya formalitas. Korban yang berani melapor sering menghadapi tekanan balik, bahkan dari sesama mahasiswa, memperparah trauma mereka. Hukum yang kuat tanpa eksekusi yang berpihak hanyalah janji kosong.
Akar Budaya: Patriarki dan Budaya Diam
Kekerasan seksual di kampus tidak lepas dari budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Narasi yang menyalahkan korban mulai dari pakaian, gaya bicara, hingga aktivitas organisasi memperkuat budaya diam yang membungkam kebenaran. Kampus, yang seharusnya menjadi pelopor peradaban, justru kerap terjebak dalam retorika “menjaga nama baik” untuk menutupi kasus. Akibatnya, mahasiswi dipaksa belajar dalam kewaspadaan, mengorbankan kenyamanan psikologis demi menyelesaikan studi. Ketimpangan relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, diperparah minimnya literasi gender, menjadikan kekerasan seksual bukan hanya mungkin, tetapi terus berulang. Menurut survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2023), 62% mahasiswi pernah mengalami pelecehan verbal di kampus, namun hanya 10% yang melapor karena takut disalahkan. Ini adalah kegagalan kolektif yang menuntut perubahan paradigma sosial dan budaya.
Peran Strategis Kohati: Menjadi Garda Terdepan
Di tengah krisis ini, Kohati, sebagai organisasi mahasiswi dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan keadilan gender. Dengan semangat “Kohati Responsif”, Kohati harus melampaui peran tradisionalnya sebagai wadah kaderisasi dan menjadi agen perubahan struktural di kampus. Tiga langkah strategis dapat menjadi pijakan:
- Advokasi Kebijakan Kampus: Kohati harus mendorong pembentukan Satgas PPKS yang independen, transparan, dan berpihak pada korban. Ini meliputi pengawalan penyusunan SOP pelaporan yang ramah korban dan memastikan sanksi tegas bagi pelaku, terlepas dari status mereka.
- Edukasi dan Penyadaran Kolektif: Kohati dapat menggelar diskusi, kampanye, dan kajian rutin tentang isu gender dan kekerasan seksual. Edukasi ini penting untuk membongkar mitos patriarki, seperti narasi yang menyalahkan korban, dan membangun kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa.
- Ruang Aman dan Solidaritas: Kohati harus menyediakan ruang aman informal, seperti forum curhat atau layanan pendampingan psikologis dan hukum, bekerja sama dengan LSM, psikolog, dan lembaga advokasi. Ruang ini memastikan korban tidak berjuang sendirian dan merasa didukung dalam mencari keadilan.