Notification

×

Iklan

Iklan Fillo

basreng

"Ketika Mahasiswa Lupa Membaca, dan Organisasi Lupa Berpikir"

Sabtu, 17 Mei 2025 | Mei 17, 2025 WIB | 0 Views

  "Ketika Mahasiswa Lupa Membaca, dan Organisasi Lupa Berpikir"

Penulis: Ahmadi Saleh
(Mahasiswa Penghisap Rokok Surya kadang" Lufman Juga Sih....hehehehe)

    Bak pohon tua yang sudah uzur, diterpa angin gosip yang tak pernah jelas sumbernya begitulah kira-kira nasib organisasi mahasiswa eksternal hari ini. Banyak organisasi mahasiswa ekstra yang dulunya memperlihatkan taringnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum mustad’afin kini tak berani memperlihatkannya lagi. Ada apa dengan orang-orang yang tergabung dengan beberapa Organisasi mahasiswa eksternal hari ini? kenapa zaman ke zaman makin merosot jiwa kritisnya? Apakah dewasa ini organisasi mahasiswa ekstra tidak lagi mampu melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang peduli terhadap rakyat atau kaum mustad’afin?

    Dalam hiruk pikuk sejarah dunia aktivis sebetulnya jauh sebelum MALARI atau malapetaka lima belas januari tahun 1974 memang sudah banyak aksi-aksi dari mahasiswa. bahkan gerakan yang paling besar sepanjang sejarah dunia aktivis pernah terjadi pada gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berhasil menggulingkan presiden soekarno. Malari didasarkan pada ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah pada saat itu sehingga muncullah gerakan mahasiswa turun kejalan mewakili aspirasi dari rakyat, terlepas dari banyaknya konspirasi terhadap gerakan itu arief budiman mengatakan bahwa gerakan itu adalah gerakan moral atau biasa yang kita kenal dengan (Moral Force). Mahasiswa turun kejalan layaknya sebagai seorang koboy bernama shane yang turun gunung ke sebuah desa kecil dipenuhi dengan banyak bandit dan shane berhasil membantai bandit itu kemudian dia ditawari oleh penduduk desa menjadi sherif namun ia menolaknya. Dia lebih memilih hidup sederhana dan mengesampingkan semua tawaran itu.

    Sementara itu, organisasi eksternal mahasiswa yang dulunya jadi laboratorium kader-kader ideologis, kini lebih mirip tempat magang politik dini. Visi rakyat kerap diganti dengan visi personal branding. Kaderisasi lebih sering fokus pada cara bicara yang meyakinkan, bukan cara berpikir yang benar. Yang penting percaya diri, meski isi kepala masih kosong melompong.

    Mahasiswa zaman dulu turun ke jalan karena keresahan yang lahir dari kajian mendalam dan diskusi tanpa pamrih. Mahasiswa zaman sekarang? Turun ke jalan karena ajakan teman dan bisa sekalian bikin konten. Aksi dianggap berhasil bukan karena ada perubahan, tapi karena jumlah like dan views yang memuaskan.

    Tak jarang, tuntutan pun disalin-tempel dari dokumen tahun lalu, yang juga disalin dari dokumen tahun sebelumnya. Tak sempat dibaca, apalagi dikaji. Sebab yang penting, katanya, “kita tetap turun” meski tak tahu betul apa yang sedang diperjuangkan.

    Di ruang-ruang diskusi, daya kritis mahasiswa mulai berganti menjadi daya saing dalam lomba debat yang kadang lebih banyak retorika ketimbang logika. Berpikir kritis dianggap usang jika tak viral. Maka tak heran, jika banyak yang lebih memilih diam karena berpikir terlalu keras bisa mengganggu mental health.

    Mungkin benar, zaman telah berubah. Tapi perubahan seharusnya bukan alasan untuk menyerah pada kenyamanan. Mahasiswa tidak dilahirkan untuk sekadar menjadi penonton sejarah, apalagi komentator pasif yang hanya lihai menyusun kalimat pedas di media sosial, tapi gemetar saat berhadapan dengan realitas.

    Organisasi eksternal mahasiswa mestinya bukan sekadar tempat mencari relasi, mencetak CV, atau ajang memperbanyak stiker di laptop. Ia seharusnya jadi dapur penggodokan nalar, tempat di mana gagasan diasah, bukan dikemas dalam format PDF untuk dikirim ke sponsor.

    Dan daya kritis mahasiswa bukan sekadar soal turun ke jalan atau mengutip tokoh kiri yang sedang viral. Ia adalah keberanian untuk berpikir melawan arus, untuk menggugat yang mapan, bahkan jika yang digugat adalah organisasi sendiri.

    Sebab jika mahasiswa kehilangan daya kritis, maka kita tak sedang mengalami krisis biasa. Kita sedang menyaksikan tragedi yang sunyi: ketika kampus-kampus menjadi pabrik gelar, dan organisasi mahasiswa berubah menjadi arena simulasi peran di mana semua tampak sibuk, tapi tak ada yang benar-benar bergerak.

    Jadi, jika hari ini kita masih merasa nyaman dengan sunyinya perlawanan, barangkali bukan karena dunia sudah terlalu damai. Mungkin kita saja yang sudah terlalu jinak.

×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini