Notification

×

Iklan

Iklan Fillo

basreng

Tanpa Kesejahteraan: Korupsi Pendidikan Tak Terelakkan

Rabu, 12 Maret 2025 | Maret 12, 2025 WIB | 0 Views


Pernahkah melihat seorang guru naik motor butut yang suaranya lebih kencang daripada klakson truk? Atau mungkin pernah mendengar cerita guru honorer yang gajinya sebenarnya tidak cukup untuk beli beras? Inilah realitas yang sering terjadi di dunia pendidikan kita.

Tapi tunggu dulu. Belum lama ini viral sebuah video yang menyebutkan bahwa guru itu semuanya jahat dan korup. Narasi ini tentu mengejutkan dan mengundang banyak reaksi. Seolah-olah, semua guru di negeri ini adalah para antagonis yang selalu siap menilap uang negara. Padahal, realitas di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak guru yang justru berjuang mati-matian agar bisa tetap mengajar meskipun mereka sendiri hidup dalam keterbatasan.

Terlepas dari motif si pembuat konten video—entah kebelet viral, ngebet cuan dari endorsement, atau sekadar iseng-iseng balas dendam—ada satu hal yang perlu kita bahas.

Apakah ada guru yang terlibat korupsi? Sayangnya, jawabannya adalah ada. Seperti di profesi lain, pendidikan pun tidak sepenuhnya bersih dari praktik curang. Beberapa oknum guru terlibat dalam pungutan liar, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), atau bahkan jual-beli nilai. Namun, apakah ini berarti semua guru adalah koruptor? Tentu tidak.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa praktik pungutan liar masih marak terjadi di berbagai sekolah. Tidak sedikit guru yang terpaksa menjual buku, seragam, atau meminta “sumbangan” kepada orang tua murid dengan alasan untuk mendapatkan uang tambahan. Dalam beberapa kasus, hal ini dilakukan bukan karena keserakahan, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain. Dengan gaji yang minim, mereka mencari cara agar bisa bertahan hidup dan tetap menjalankan tugasnya sebagai pendidik.

Beberapa waktu lalu, sempat beredar berita tentang oknum kepala sekolah dan oknum guru yang terlibat dalam penyalahgunaan dana BOS dan Program Indonesia Pintar (PIP). Bukankah ini ironi? Sosok yang seharusnya menjadi teladan justru tersandung kasus korupsi. Dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan malah dikorupsi demi kepentingan pribadi. Hal ini semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.

Guru selalu identik dengan nilai-nilai luhur. Di kelas, guru mengajarkan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Namun, masyarakat pun merasa kecewa ketika ada guru yang tergoda melakukan korupsi. Mereka yang seharusnya menjadi panutan justru mencoreng profesi mereka sendiri. Kejadian semacam ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini murni kesalahan individu, atau ada sistem yang membuat mereka terjebak dalam kondisi yang sulit?

Tidak bisa dimungkiri, tekanan ekonomi adalah salah satu faktor yang membuat sebagian kecil guru akhirnya mengambil jalan yang salah. Gaji yang tak seberapa, tunjangan yang minim, serta tuntutan hidup yang semakin berat membuat beberapa dari mereka mencari celah untuk mendapatkan penghasilan tambahan, meskipun dengan cara yang keliru.

Jika kita benar-benar ingin menghapus praktik-praktik ini, maka solusinya bukan hanya sekadar memberikan hukuman, melainkan memastikan bahwa guru mendapatkan upah yang cukup untuk hidup layak. Tanpa kesejahteraan yang dijamin, praktik pungli dan penyalahgunaan dana pendidikan akan terus berulang, dan dunia pendidikan kita akan semakin jauh dari kata bersih.

Jika penghasilan guru masih jauh dari kata layak, bagaimana mungkin kita berharap mereka bisa bekerja dengan penuh dedikasi dan tanpa celah penyimpangan? Faktanya, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi persoalan klasik yang belum menemukan solusi nyata.

Kalau ditelusuri lebih dalam, ada satu faktor yang tak bisa diabaikan, yaitu kesejahteraan. Paradigma "guru tanpa tanda jasa" agaknya sudah bergeser karena tantangan kebutuhan hidup yang harus dicukupi. Pengabdian dan idealisme memang penting, tetapi ketika perut kosong dan kebutuhan keluarga tidak terpenuhi, godaan untuk mencari jalan pintas bisa muncul.

Tapi apakah penghasilan guru sudah cukup untuk hidup layak? Sayangnya, jawabannya masih jauh dari harapan. Banyak guru, terutama yang berstatus honorer, harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gaji mereka bahkan mungkin kalah dengan tukang parkir atau buruh harian lepas.

Dalam kondisi seperti ini, bukan hal yang mengejutkan jika ada oknum guru yang tergelincir dalam praktik pungutan liar atau penyalahgunaan dana pendidikan. Ini bukan untuk membenarkan tindakan mereka, tetapi kita juga harus memahami akar masalahnya. Sistem yang tidak berpihak kepada kesejahteraan guru membuka peluang terjadinya korupsi.

Jika pemerintah dan masyarakat ingin memberantas korupsi di dunia pendidikan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan guru mendapatkan gaji yang layak. Memberikan hukuman bagi pelaku korupsi memang perlu, tetapi tanpa solusi atas masalah kesejahteraan, praktik serupa akan terus berulang. Guru harus meluruskan niatnya, Lillahi taala demi bangsa.


×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini