Di era digital yang semakin maju, ironi besar tengah terjadi di Indonesia. Kemudahan akses informasi yang seharusnya menjadi katalisator kemajuan justru menenggelamkan kebudayaan literasi. Buku-buku bermutu tergeser oleh kumparan konten instan yang dangkal. Kaum muda yang seharusnya menjadi agent perubahan lebih tertarik dengan hiburan dangkal dibandingkan kajian mendalam. Akibatnya, kita menjadi negara yang miskin wawasan, lemah dalam berpikir kritis, mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang menyesatkan. Tak dapat disangkal, minat baca bangsa Indonesia memprihatinkan. Berdasarkan survei, bangsa Indonesia tertinggal jauh minat literasinya dibandingkan negara-negara maju. Di sekolah-sekolah dipandang Masih menjadi beban. Generasi Z lebih gemar menghabiskan waktu dengan android/iphone mengonsumsi informasi yang dakkal Tanpa ada upaya untuk mencerna informasi dengan baik. Dampaknya, kemampuan analisa & kritis anak muda menurun drastis. Mereka menerima informasi mentah-mentah Tanpa melakukan penelusuran dan observasi. Berita palsu Dan propaganda mudah menyebar karena kurangnya membaca dari sumber yang kredibel. Mereka menjadi target empuk bagi manipulasi, baik dalam politik, sosial, maupun ekonomi. Minimnya budaya membaca berkontribusi pada melemahnya akal sehat di masyarakat. Ketidakmampuan memahami suatu isu secara mendalam menyebabkan perdebatan publik sering kali didominasi oleh emosi ketimbang logika. Orang lebih mudah marah daripada berpikir, lebih suka menghakimi daripada memahami. Akibatnya, demokrasi kita berkembang tanpa fondasi yang kokoh. Pemilih tidak memilih berdasarkan visi dan misi, tetapi berdasarkan sentimen sesaat yang dimainkan oleh elite politik. Lebih parahnya lagi, hukum dan keadilan juga terpengaruh oleh minimnya literasi. Para pemimpin yang diharapkan membawa perubahan justru terjebak dalam korupsi dan kepentingan pribadi. Hukum dan keadilan juga terpengaruh minimnya literasi.
Para pemimpin yang diharapkan membawa perubahan justru terjebak dalam korupsi dan kepentingan pribadi. Hukum lebih sering berpihak kepada yang kuat, bukan kepada kebenaran. Rakyat yang tak memiliki wawasan luas pun menerima ketidakadilan ini dengan pasrah, karena mereka tidak memiliki alat intelektual untuk melawannya. Kurangnya literasi juga memperparah ketimpangan ekonomi. Banyak orang tidak memahami konsep dasar keuangan dan ekonomi, sehingga mudah tertipu oleh skema investasi bodong, pinjaman online ilegal, dan sistem ekonomi eksploitatif. Generasi muda lebih tertarik pada jalan pintas untuk kaya, ketimbang membangun keterampilan dan wawasan yang bisa membawa mereka pada kesuksesan jangka panjang. Di sisi lain, mereka yang berkuasa karena memiliki akses lebih baik terhadap informasi dan pendidikan semakin memperkaya diri dengan mengeksploitasi ketidaktahuan masyarakat. Ekonomi yang seharusnya menjadi alat pemerataan kesejahteraan justru menjadi alat pemiskinan sistematis bagi mereka yang tertinggal dalam dunia literasi.
MENYELAMATKAN BANGSA DENGAN MEMBACA
Di tengah realitas suram ini, satu hal yang dapat menyelamatkan kita adalah revolusi literasi. Membaca bukan sekadar aktivitas hobi, tetapi keharusan untuk bertahan hidup dalam dunia yang semakin kompleks. Jika kita ingin membangun bangsa yang kuat, budaya membaca harus ditanamkan sejak dini. Bangkit atau Hilang dalam Sejarah ? ingat Jika budaya membaca terus merosot, Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka. Kita akan selalu menjadi bangsa yang tertinggal, mudah dikendalikan, dan tanpa arah yang jelas. Sebaliknya, jika kita mampu membangkitkan kembali budaya literasi, maka kita bisa melahirkan generasi yang cerdas, mandiri, dan mampu membangun masa depan yang lebih baik. Kini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin menjadi bangsa yang besar dan beradab? Atau tetap menjadi bangsa yang tertinggal karena enggan membaca? Waktunya untuk bertindak, sebelum kita benar-benar kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dalam pemikiran dan peradaban.