Dalam dunia akademik, kita sering diajarkan bahwa kampus adalah tempat yang menjunjung tinggi keadilan dan profesionalisme. Namun, realitas yang saya alami justru sebaliknya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sistem di kampus lebih mengutamakan mereka yang dekat dengan dosen, sementara mahasiswa yang kritis dan mempertanyakan ketidakadilan justru dianggap sebagai pengganggu.
Awal Mula Konflik
Sebagai mahasiswa yang berusaha berpikir kritis, saya selalu percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai, tetapi juga soal membangun karakter, keberanian, dan kejujuran dalam bertindak. Namun, idealisme saya mulai diuji ketika saya melihat bagaimana mahasiswa yang dekat dengan dosen lebih dipermudah dalam berbagai urusan akademik.
Saya melihat sendiri bagaimana mereka bisa dengan mudah mendapatkan bimbingan intensif, rekomendasi, bahkan nilai yang lebih baik meskipun usaha mereka tidak sebanding dengan mahasiswa lain yang benar-benar bekerja keras. Sementara itu, mereka yang berusaha secara mandiri tanpa kedekatan dengan dosen harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan hak yang sama.
Dicap Sebagai Mahasiswa Bermasalah
Ketika saya mulai mempertanyakan hal ini, saya langsung mendapat cap sebagai mahasiswa yang suka "membangkang." Salah satu peristiwa yang paling mencolok adalah ketika saya dan beberapa teman menemukan kejanggalan dalam sistem penilaian. Kami meminta transparansi dan penjelasan kepada dosen, tetapi bukannya mendapat jawaban yang memuaskan, saya justru mulai dipersulit.
Administrasi saya sering mengalami kendala tanpa alasan yang jelas, komunikasi dengan dosen menjadi lebih sulit, dan bahkan beberapa teman mulai menjauhi saya karena takut terkena imbasnya. Sementara itu, mahasiswa yang dekat dengan dosen tetap mendapatkan segala kemudahan, bahkan dalam hal yang seharusnya berlaku adil untuk semua.
Ketidakadilan yang Dibiarkan
Ironisnya, kampus selalu berbicara tentang profesionalisme dan integritas, tetapi ketika ada mahasiswa yang meminta penerapan nilai-nilai tersebut, mereka justru dianggap sebagai pembuat masalah. Saya mulai bertanya-tanya:
- Mengapa mereka yang mempertanyakan ketidakadilan justru dianggap sebagai ancaman?
- Mengapa kampus lebih memilih mempertahankan sistem yang tidak adil daripada mendengarkan suara mahasiswa?
- Mengapa mahasiswa yang dekat dengan dosen bisa menikmati fasilitas lebih baik, sementara yang lain harus berjuang keras untuk sesuatu yang seharusnya menjadi hak mereka?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah saya dapatkan secara langsung. Namun, saya sadar bahwa sistem ini sudah lama berjalan, dan mengubahnya bukanlah hal yang mudah.
Tetap Bertahan di Tengah Tekanan
Meskipun mengalami banyak tekanan, saya memutuskan untuk tetap bertahan dengan prinsip saya. Saya mungkin tidak bisa mengubah sistem kampus secara langsung, tetapi saya yakin bahwa setiap suara yang berani berbicara akan membawa dampak, sekecil apa pun itu.
Saya mulai mencari cara lain untuk menyuarakan ketidakadilan ini, seperti menulis opini di media kampus, berdiskusi dengan mahasiswa lain yang memiliki pengalaman serupa, serta mencari dukungan dari pihak-pihak yang masih menjunjung tinggi integritas.
Pelajaran yang Saya Dapatkan
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa dunia akademik tidak selalu seideal yang kita bayangkan. Namun, bukan berarti kita harus menyerah. Keberanian untuk mempertahankan prinsip adalah sesuatu yang tidak dimiliki semua orang, dan jika kita yakin dengan apa yang kita perjuangkan, kita harus tetap maju.
Bagi siapa pun yang mengalami hal serupa, jangan takut untuk berbicara. Mungkin saat ini kita dianggap sebagai pengganggu, tetapi suatu hari nanti, suara kita bisa menjadi alasan perubahan terjadi. Karena pada akhirnya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.