Penulis: Awaluddin Situmorang
Dalam lanskap modernisasi yang kian agresif, efisiensi sering kali diglorifikasi sebagai mantra sakral yang harus diimplementasikan dalam berbagai sektor. Tidak dapat disangkal, optimalisasi sumber daya memang krusial bagi keberlanjutan institusi. Namun, ketika efisiensi dilakukan tanpa pertimbangan yang matang terhadap aspek sosial, kita berisiko menghadapi paradoks: efisiensi yang justru menjadi bumerang bagi masyarakat.
Mari kita telaah keputusan beberapa institusi pendidikan tinggi yang mulai memberlakukan kebijakan work from home (WFH) bagi tenaga kependidikan dengan dalih efisiensi.
"Premisnya sederhana: dengan mengurangi beban operasional, kampus dapat mengalokasikan anggaran untuk hal-hal yang lebih substansial. Sayangnya, dalam praktiknya, kebijakan ini malah melahirkan realitas distopia ala Kafka, di mana mahasiswa yang masuk mata kuliah harus berkomunikasi dengan entitas tak kasat mata di balik layar Zoom". Ujar awal dengan tegas dan lugas.
Konsep paperless dan digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi revolusioner ternyata hanya memperpanjang rantai birokrasi, yang kini ditransformasi ke dalam bentuk antrian virtual tanpa ujung. Mahasiswa yang ingin mengurus transkrip nilai, misalnya, kini harus melewati tiga tahap verifikasi daring, dua kali menunggu balasan email yang entah kapan datang, dan satu sesi terapi kesabaran akibat server down. Bayangkan, bagaimana Socrates bisa berdialektika jika Plato harus menunggu chatbot kampus membalas tiket administrasi?
Tak hanya itu, aspek sosial yang selama ini menjadi nadi dari sebuah perguruan tinggi perlahan memudar. Kantor akademik yang dulu menjadi ajang interaksi dan diskusi kini sunyi seperti reruntuhan peradaban kuno. Bahkan, humor khas administrasi kampus—"silakan kembali Senin depan, sistem masih dalam pemeliharaan"—mulai kehilangan relevansinya karena tidak ada lagi loket yang bisa didatangi.
Dilain sisi, efisiensi yang berlebihan juga berpotensi menciptakan culture shock bagi masyarakat yang masih bergantung pada layanan tatap muka. Tidak semua individu memiliki akses yang memadai terhadap teknologi, dan tidak semua administrasi dapat diselesaikan dengan formulir daring yang terlalu abstrak untuk dipahami. Dalam kerangka teori Weberian, rasionalisasi ini justru menciptakan ironi: sistem yang seharusnya mempermudah justru memperumit.
Menurut Awaluddin Situmorang, jika efisiensi memang menjadi tujuan utama, mengapa tidak sekalian saja kita serahkan semua urusan akademik kepada kecerdasan buatan dan menjadikan kampus sebagai museum masa lalu? Setidaknya, kita bisa mengenang bahwa dulu pernah ada era di mana mahasiswa bisa menyelesaikan urusan tanpa perlu menunggu respons bot otomatis yang entah ada entah tidak.
Awaluddin Situmorang menyimpulkan, efisiensi yang bijak bukan sekadar tentang pemotongan anggaran dan digitalisasi, melainkan tentang keseimbangan antara rasionalisasi dan aspek kemanusiaan. Kampus, sebagai episentrum intelektual, seharusnya tidak sekadar menjadi laboratorium kebijakan ekonomi, tetapi juga tempat di mana efisiensi tidak mengorbankan substansi akademik dan interaksi manusia yang esensial.