Notification

×

Iklan

Iklan Fillo

basreng

"Fenomena Pilkada: Harapan, Realita, dan Tantangan Demokrasi"

Jumat, 29 November 2024 | November 29, 2024 WIB | 0 Views

 

"Fenomena Pilkada: Harapan, Realita, dan Tantangan Demokrasi"

Penulis: Awaluddin Situmorang

Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat budaya yang terus dipertahankan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), mari kita renungkan betapa besarnya harapan masyarakat yang disandarkan kepada masing-masing kandidat. Harapan ini sering kali melampaui aspek ide, gagasan, visi, maupun misi yang diusung para kandidat. Sayangnya, di sisi lain, masyarakat kerap diibaratkan seperti pengemis yang menunggu "serangan fajar" untuk mendapatkan keuntungan sesaat.

Coba bayangkan seorang kandidat setelah dinyatakan menang. Apakah ia akan mengucap syukur dan menyadari tanggung jawab besar yang dipikulnya? Apakah ia akan peduli pada kondisi masyarakat miskin, berkomitmen mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadi pemimpin yang adil? Harapan kita tentu seperti itu. Namun, fenomena yang sering terjadi di era sekarang menunjukkan hal sebaliknya. Untuk merebut kekuasaan, banyak pihak rela berjuang mati-matian, bahkan dengan cara-cara yang mengabaikan norma dan nilai moral, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap masyarakat.

Secara mendasar, Aristoteles mendefinisikan politik sebagai upaya untuk mencapai kebaikan bersama. Artinya, proses politik yang baik harus berjalan sesuai regulasi tanpa mencederai norma yang ada di masyarakat. Hasil yang baik hanya dapat tercapai apabila prosesnya juga baik. Ironisnya, politik di negeri kita sering kali dikaitkan dengan praktik yang kotor. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaan. Untuk menjadi kandidat, seseorang harus memiliki "jumlah uang" yang besar. Analogi sederhananya, dengan modal yang cukup besar, siapa pun—bahkan seekor ayam sekalipun—bisa menang dalam kontestasi politik.

Fenomena ini mencerminkan masalah serius dalam budaya politik kita. Dampak dari praktik money politics (politik uang) semakin memperburuk keadaan. Banyak masyarakat yang rela menjual suaranya demi uang, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Apakah hal ini baik? Tentu tidak. Namun, bagaimana cara menghentikan praktik ini? Saya juga bingung heheheh aturan yang melarang sudah jelas, tapi kok masih dilakukan ya?

Banyak kejadian yang seharusnya tidak terjadi menjelang hari pemilihan, seperti perselisihan antar keluarga akibat perbedaan pilihan, pembagian sembako kepada warga, dan sebagainya. Namun, apa pun yang telah terjadi, setelah pemilu selesai, marilah kita kembali merajut silaturahmi untuk bersama-sama membangun negeri yang lebih maju dan berkeadaban.

 

×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini