"Fenomena Pilkada: Harapan, Realita, dan Tantangan
Demokrasi"
Penulis:
Awaluddin Situmorang
Dalam
kehidupan bermasyarakat, terdapat budaya yang terus dipertahankan, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Dalam konteks pemilihan kepala daerah
(pilkada), mari kita renungkan betapa besarnya harapan masyarakat yang
disandarkan kepada masing-masing kandidat. Harapan ini sering kali melampaui
aspek ide, gagasan, visi, maupun misi yang diusung para kandidat. Sayangnya, di
sisi lain, masyarakat kerap diibaratkan seperti pengemis yang menunggu
"serangan fajar" untuk mendapatkan keuntungan sesaat.
Coba
bayangkan seorang kandidat setelah dinyatakan menang. Apakah ia akan mengucap
syukur dan menyadari tanggung jawab besar yang dipikulnya? Apakah ia akan
peduli pada kondisi masyarakat miskin, berkomitmen mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan menjadi pemimpin yang adil? Harapan kita tentu seperti itu. Namun,
fenomena yang sering terjadi di era sekarang menunjukkan hal sebaliknya. Untuk
merebut kekuasaan, banyak pihak rela berjuang mati-matian, bahkan dengan
cara-cara yang mengabaikan norma dan nilai moral, yang pada akhirnya berdampak
negatif terhadap masyarakat.
Secara
mendasar, Aristoteles mendefinisikan politik sebagai upaya untuk mencapai
kebaikan bersama. Artinya, proses politik yang baik harus berjalan sesuai
regulasi tanpa mencederai norma yang ada di masyarakat. Hasil yang baik hanya
dapat tercapai apabila prosesnya juga baik. Ironisnya, politik di negeri kita
sering kali dikaitkan dengan praktik yang kotor. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan menghalalkan segala
cara demi mencapai kekuasaan. Untuk menjadi kandidat, seseorang harus
memiliki "jumlah uang" yang besar. Analogi sederhananya, dengan modal yang cukup besar,
siapa pun—bahkan seekor ayam sekalipun—bisa menang dalam kontestasi politik.
Fenomena ini mencerminkan masalah serius dalam budaya
politik kita. Dampak dari praktik money politics (politik uang)
semakin memperburuk keadaan. Banyak masyarakat yang rela menjual suaranya demi
uang, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Apakah hal ini
baik? Tentu tidak. Namun, bagaimana
cara menghentikan praktik ini? Saya juga bingung heheheh aturan yang melarang
sudah jelas, tapi kok masih dilakukan ya?
Banyak kejadian yang seharusnya tidak terjadi menjelang
hari pemilihan, seperti perselisihan antar keluarga akibat perbedaan pilihan,
pembagian sembako kepada warga, dan sebagainya. Namun, apa pun yang telah
terjadi, setelah pemilu selesai, marilah kita kembali merajut silaturahmi untuk
bersama-sama membangun negeri yang lebih maju dan berkeadaban.