Penulis : Batara Musbar (Kader HmI Komisariat Lafran Pane HmI cabang Padangsidimpuan) |
keping-keping malam yang kelam yang menutupi wajah, ya kira-kira demikianlah bab pembuka tulisan Edi Ah Iyubenu. jika engkau berkesempatan untuk menikmati indahnya bulan purnama, coba perhatikan bahwa awan-awan yang gelap pelan-pelan, sedikit demi sedikit akan meredupkan cahayanya sehingga cahayanya yang cemerlang tak sempurna lagi memukau pelupuk matamu. hinggak akhirnya dia sempurna tak nampak dimakan oleh samudera yang menjadikannya tiada dari pandangan mata. ia sebetulnya ada walaupun sudah tak nampak, dibalik tahta awan-awan kelam itu dan ia tetap bernama bulan purnama.
Bagi saya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah rembulan itu. Ia pernah hadir begitu terang, memberi arah dan membebaskan pikiran dari kelam. Dulu, ketika pertama kali mengenalnya, saya melihat cahayanya yang memancar di kampus: gagah, menyala, menyinari hijau dedaunan kehidupan mahasiswa. Dari HMI saya belajar banyak tentang makna keilmuan, kebersamaan, dan perjuangan.
HMI adalah ruang di mana ruh intelektualitas dan spiritualitas bersatu, membentuk marwah yang luhur. Ia bagaikan sinar purnama di tengah malam kampus yang gelap.
Rembulan yang Kini Meredup
Namun, kini cahayanya seakan tertutup awan pekat. Marwah yang dahulu terjaga, kini kerap terasa samar. Perisai yang dulunya kokoh melawan badai zaman, perlahan rapuh oleh derasnya arus pragmatisme. HMI seperti bulan purnama yang masih ada, tapi cahayanya hampir tak terlihat.
Muncul pertanyaan: apakah HMI akan terus hilang dari pandangan? Apakah sinarnya akan mati selamanya? Atau justru ia tengah menunggu kadernya untuk meniup awan-awan pekat, agar kembali menampakkan cemerlangnya?
Back to Kampus: Menjemput Ruh, Menghidupkan Marwah
HMI tidak boleh berhenti sebagai sekadar nama. Ia harus kembali ke akar: kampus. Kampus adalah rahim yang melahirkan HMI, tempat ruh perjuangan itu pertama kali menyala. Jika ingin kembali bercahaya, HMI mesti menjemput kembali ruh keilmuannya, memperkuat basis intelektual, dan menghadirkan tradisi kritis yang membedakan dirinya dari organisasi lainnya.
Menghidupkan marwah bukanlah perkara retorika, melainkan keberanian untuk menjaga idealisme. Ia berarti:
- Menegakkan nalar kritis di tengah budaya serba instan.
- Menjadi ruang terbuka bagi kader untuk tumbuh, bukan sekadar bernaung.
- Menjaga komitmen perjuangan umat dan bangsa, tanpa kehilangan pijakan akademis.
Seperti rembulan, HMI sejatinya tidak pernah benar-benar hilang. Ia tetap ada, hanya terhalang awan kelam. Maka tugas kita adalah meniup awan-awan itu, membersihkan langit, hingga sinar purnama kembali menyinari. Saatnya HMI back to kampus—menjemput ruh, menghidupkan marwah. Karena hanya dengan kembali ke jati dirinya, HMI akan kembali menjadi cahaya yang memukau, bukan sekadar nama yang pudar ditelan zaman.