Notification

×

Iklan

Iklan Duta

basreng

Pemisahan Pemilu: Solusi Nyata atau Ilusi Demokrasi?

Rabu, 02 Juli 2025 | Juli 02, 2025 WIB | 0 Views
Oleh : Agil almunawar
Pegiat: Filsafat Mazhab Frankfurt. Jurgen Habermas Teori Kritis, Ruang publik.

Pemilu serentak 2019 dan 2024 telah memicu debat sengit tentang keberlanjutan model demokrasi Indonesia. Pendukungnya mengklaim efisiensi waktu dan anggaran, namun realitas di lapangan justru tragis: petugas pemilu meninggal akibat kelelahan ekstrem, pemilih kewalahan menghadapi surat suara yang rumit, dan logistik yang kacau balau. Wacana pemisahan pemilu nasional dan daerah kembali mengemuka sebagai solusi. Namun, apakah pemisahan ini benar-benar mampu menyelesaikan krisis demokrasi, atau hanya ilusi manis yang menambah beban sistemik? Dengan pendekatan kritis, tulisan ini menyoroti kelemahan pemilu serentak, potensi pemisahan, dan kebutuhan reformasi sistemik untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Baca juga (Pemisahan Pemilu: Solusi Demokrasi atau Beban Baru?)


Pemilu Serentak: Tragedi Kemanusiaan dan Kekacauan Sistemik


Pemilu serentak 2019 menjadi cermin kelam demokrasi Indonesia. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat lebih dari 500 petugas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan, dengan ribuan lainnya jatuh sakit. Penghitungan suara yang memakan waktu, tekanan jadwal yang tidak manusiawi, dan distribusi logistik yang amburadul memperlihatkan sisi gelap sistem ini. Meski Pemilu 2024 menunjukkan sedikit perbaikan, masalah mendasar tetap mengemuka: keterlambatan surat suara di daerah terpencil, partisipasi pemilih yang fluktuatif, dan kompleksitas surat suara yang membingungkan. Bukankah demokrasi seharusnya memudahkan rakyat, bukan menyengsarakan mereka?


Lebih jauh, pemilu serentak memicu polarisasi berbahaya. Isu nasional yang sarat emosi—seperti ideologi, agama, atau identitas—bercampur dengan dinamika lokal yang lebih pragmatis, seperti pembangunan infrastruktur atau pelayanan publik. Akibatnya, pemilih terjebak dalam narasi politik yang membingungkan, sering kali memilih berdasarkan emosi sesaat ketimbang pertimbangan rasional. Sistem ini, yang seharusnya mencerminkan kualitas intelektual masyarakat, justru kerap menjadi ajang adu popularitas yang kosong substansi. Efisiensi anggaran yang diagungkan ternyata mengorbankan kemanusiaan dan kualitas demokrasi—harga yang terlalu mahal untuk sebuah sistem yang gagal menjamin keadilan elektoral.

Pemisahan Pemilu: Logika yang Menggoda, Namun Berisiko


Pemisahan pemilu nasional dan daerah menawarkan solusi yang logis dan menggoda. Pertama, pemisahan memungkinkan fokus yang lebih tajam. Pemilu nasional, yang menentukan presiden dan legislatif, membutuhkan diskusi mendalam tentang visi negara, kebijakan ekonomi, dan hubungan internasional. Sebaliknya, pemilu daerah lebih relevan dengan isu lokal seperti pembangunan, kesehatan, atau pendidikan. Dengan memisahkan keduanya, pemilih dapat mengevaluasi calon dalam konteks yang lebih jelas, menghasilkan pilihan yang lebih berkualitas dan terinformasi.


Kedua, pemisahan dapat meringankan beban penyelenggara. Dengan jadwal terpisah, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat mengelola logistik dan pengawasan secara lebih terarah, mengurangi tekanan pada petugas lapangan. Data menunjukkan partisipasi pemilih cenderung rendah di daerah dengan akses informasi terbatas. Pemisahan memberikan waktu lebih bagi masyarakat untuk memahami calon dan program mereka, sekaligus memungkinkan kampanye yang lebih terfokus. Namun, potensi manfaat ini harus diimbangi dengan pengelolaan risiko yang cermat.


Kritik utama terhadap pemisahan adalah biaya. Pemilu serentak memangkas anggaran dengan menggelar satu pemilu setiap lima tahun. Memisahkan pemilu berarti menggandakan biaya logistik, keamanan, dan kampanye—beban berat di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, apakah penghematan finansial lebih berharga ketimbang nyawa petugas dan kualitas demokrasi? Efisiensi yang mengorbankan kemanusiaan adalah kontradiksi dalam prinsip demokrasi itu sendiri. Tantangan lain adalah potensi instabilitas politik. Jika jadwal pemilu nasional dan daerah terlalu berdekatan, polarisasi nasional dapat bercampur dengan konflik lokal, menciptakan ketegangan berkelanjutan. Koordinasi yang buruk, yang sering menjadi kelemahan birokrasi Indonesia, dapat memperparah masalah ini.


Reformasi Sistemik: Fondasi Demokrasi yang Berkeadilan


Pemisahan pemilu bukan obat mujarab. Tanpa reformasi sistemik, pemisahan hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Pertama, KPU harus merevolusi sistem logistik dan teknologi informasi. Digitalisasi yang setengah hati, seperti aplikasi penghitungan suara yang kerap bermasalah, harus digantikan dengan platform yang and intelligently designed, transparan, dan tahan terhadap manipulasi. Kedua, pendidikan pemilih harus menjadi prioritas utama. Masyarakat perlu diedukasi untuk memilih berdasarkan rekam jejak dan program calon, bukan emosi atau iming-iming sesaat.


Ketiga, pemisahan harus didukung oleh regulasi ketat terkait masa kampanye, pendanaan, dan pengawasan media sosial untuk mencegah polarisasi dan disinformasi. Keempat, pemilu daerah harus benar-benar memperjuangkan otonomi daerah, bukan sekadar menjadi ajang perebutan kekuasaan lokal. Tanpa langkah-langkah ini, pemisahan hanya akan menambah frekuensi kampanye politik yang melelahkan tanpa menghasilkan perubahan substansial.


Kesimpulan: Langkah Berani Menuju Demokrasi Bermartabat

Pemisahan pemilu nasional dan daerah adalah langkah berani yang berpotensi memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Kelemahan pemilu serentak—dari tragedi kemanusiaan hingga kebingungan pemilih—menegaskan urgensi perubahan. Namun, pemisahan hanya akan efektif jika diiringi reformasi menyeluruh: logistik yang andal, pendidikan pemilih yang intensif, dan penguatan institusi demokrasi. Indonesia berhak atas demokrasi yang manusiawi, rasional, dan bermartabat. Pertanyaannya, beranikah kita melangkah menuju perubahan, atau kita terjebak dalam wacana kosong yang hanya menawarkan ilusi perbaikan?

×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini