Notification

×

Iklan

Iklan Fillo

basreng

RKUHP: Hukum yang Terlalu Dekat dengan Otoritarianisme

Minggu, 15 Juni 2025 | Juni 15, 2025 WIB | 0 Views
Oleh: Agil A-M
Wasekum PPPA HMI Komisariat M. Darwis

Alih-alih menjadi simbol kemerdekaan hukum nasional dari bayang-bayang kolonial, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) justru berubah menjadi instrumen yang potensial mengekang kebebasan sipil. Di balik klaim reformasi hukum pidana, tersembunyi jebakan-jebakan normatif yang berisiko melumpuhkan demokrasi dan mencederai privasi individu. Dua pasal krusial—Pasal 353 tentang “berita bohong” dan Pasal 411 tentang kohabitasi—menjadi contoh konkret bagaimana hukum bisa menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung hak warga.

Pasal 353: Membungkam dengan Dalih Keonaran

Pasal 353 RKUHP adalah warisan semangat represif yang diperhalus dalam kemasan hukum nasional. Dengan dalih memberantas “berita bohong yang menimbulkan keonaran”, pasal ini justru memberi celah lebar bagi negara untuk membungkam kritik. Tidak ada tolok ukur yang jelas atas definisi “keonaran” atau “kebohongan”. Dalam praktiknya, siapa saja yang menyuarakan kebenaran tak nyaman bagi penguasa bisa menjadi tersangka.

Kasus-kasus kriminalisasi konten digital sudah jadi bukti. SAFEnet mencatat puluhan orang dikriminalisasi hanya karena menyebarkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan tertentu. Apakah ini bentuk perlindungan masyarakat, atau justru ketakutan negara terhadap suara warganya?

Pasal 411: Moralitas yang Dipidana

Pasal 411 adalah wajah konservatisme yang dilegalkan. Mengatur kehidupan pribadi melalui hukum pidana adalah bentuk intervensi negara yang berlebihan. Negara tidak punya wewenang untuk memenjarakan orang hanya karena memilih cara hidup tertentu yang tidak merugikan orang lain.

Kriminalisasi kohabitasi adalah bentuk pengabaian terhadap realitas sosial, terutama di masyarakat adat atau urban miskin. Pasal ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga diskriminatif, sebab hanya akan menjerat kelompok rentan dan mereka yang tidak punya kuasa untuk melawan secara hukum.

Demokrasi yang Terkikis, Kepercayaan yang Terkubur

Kedua pasal ini mengindikasikan kemunduran demokrasi. Negara seolah berupaya menciptakan warga ideal versi mereka: patuh, tidak vokal, dan hidup sesuai norma mayoritas. Padahal, demokrasi tumbuh di atas keberagaman dan kebebasan. Saat kritik dikriminalisasi dan gaya hidup diadili, maka kepercayaan rakyat terhadap institusi negara perlahan akan lenyap.

Survei dan data menunjukkan tren penurunan kepercayaan publik terhadap aparat hukum. Hukum yang represif akan menciptakan ketakutan kolektif, bukan kepatuhan sukarela.

Proses Legislasi: Demokrasi Tanpa Dialog

Sayangnya, proses penyusunan RKUHP juga tak lepas dari masalah. Minimnya akomodasi terhadap masukan publik menunjukkan bahwa negara masih alergi terhadap partisipasi bermakna. Konsultasi hanya menjadi formalitas, bukan ruang dengar aspirasi rakyat. Ini bukan demokrasi deliberatif, ini monolog kekuasaan.

Indonesia punya modal digital yang besar untuk memperbaiki hal ini. Transparansi legislasi berbasis teknologi, seperti blockchain, bisa membuka ruang partisipatif yang lebih adil dan akuntabel. Tapi, apakah ada kemauan politik untuk itu?

Penutup: RKUHP Harus Menjadi Simbol Progres, Bukan Represi

RKUHP seharusnya menjadi fondasi hukum modern yang melindungi, bukan mengekang. Pasal-pasal bermasalah seperti 353 dan 411 bukan hanya cacat substansi, tapi juga merusak prinsip dasar demokrasi. Hukum pidana tidak boleh digunakan untuk memaksa moral, membatasi kritik, atau menegakkan kekuasaan.

Pemerintah harus berani merevisi pasal-pasal ini, mengedepankan prinsip harm principle, dan memanfaatkan teknologi untuk membuka ruang partisipasi yang luas. Jika tidak, maka RKUHP hanyalah wajah baru dari kekuasaan lama lebih halus, tapi tak kalah menakutkan.


×
Notifikasi

Subscribe NEWS.UIN

Tap Disini