×

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pemisahan Pemilu: Solusi Demokrasi atau Beban Baru?

Senin, 30 Juni 2025 | Juni 30, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-30T13:19:57Z

 


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun, telah memicu kontroversi sengit. Diumumkan pada 26 Juni 2025, putusan ini mengguncang fondasi pemilu serentak yang diterapkan sejak 2019, menjanjikan demokrasi yang lebih berkualitas sekaligus memunculkan kontradiksi sistemik. Dengan lensa teori kritis Jürgen Habermas, analisis ini menelaah substansi putusan, implikasinya terhadap demokrasi Indonesia, dan risiko yang mengintai, mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar solutif atau justru memperparah beban sistem demokrasi.



Substansi Putusan: Ambisi Deliberatif atau Intervensi Berlebih?


Putusan MK memisahkan pemilu nasional (presiden/wakil presiden, DPR, DPD) dari pemilu daerah (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, DPRD) dengan jeda waktu 2–2,5 tahun. Tujuannya, menurut MK, adalah mengurangi kebingungan pemilih, meringankan beban penyelenggara, dan mempertajam isu lokal yang kerap tenggelam dalam narasi nasional. Dari perspektif Habermas, pemisahan ini tampak sebagai upaya menciptakan ruang publik yang lebih deliberatif, memungkinkan pemilih fokus pada visi kenegaraan di pemilu nasional dan kebutuhan lokal di pemilu daerah. Namun, langkah ini juga memicu pertanyaan: apakah MK telah melampaui kewenangannya, mengintervensi ranah legislatif yang seharusnya menjadi hak DPR dan pemerintah?


Kelebihan: Janji Demokrasi yang Lebih Terfokus


Putusan ini menawarkan sejumlah keunggulan. Pertama, pemisahan pemilu dapat mengurangi beban kognitif pemilih. Pemilu serentak 2019 dan 2024 menunjukkan tingkat kebingungan tinggi, dengan ratusan nama kandidat dalam beberapa surat suara menyulitkan evaluasi platform politik. Pemisahan memungkinkan pemilu nasional 2029 hanya menghadirkan tiga surat suara, diikuti pemilu daerah pada 2031–2032, memberikan ruang bagi pilihan yang lebih terinformasi.


Kedua, putusan ini meringankan tekanan pada penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu kerap kewalahan mengelola logistik dan pengawasan akibat tahapan serentak yang kompleks. Tragedi kemanusiaan, seperti kematian lebih dari 500 petugas pada 2019, menjadi bukti nyata kegagalan sistemik. Pemisahan memungkinkan pengelolaan yang lebih terfokus, meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko kegagalan logistik.


Ketiga, jeda waktu memberikan peluang bagi partai politik untuk memperkuat pelembagaan. Pemilu serentak sering mendorong pragmatisme transaksional, melemahkan kaderisasi. Dengan waktu yang lebih longgar, partai dapat meresiju


Kelemahan: Kontradiksi Konstitusional dan Beban Sistemik


Meski menjanjikan, putusan ini menuai kritik tajam. Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menyebutnya paradoksal karena bertentangan dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, yang menyerahkan desain keserentakan kepada pembentuk undang-undang. MK dinilai melangkahi kewenangan legislatif, melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menetapkan pemilu setiap lima tahun, termasuk untuk DPRD. Jeda panjang ini memunculkan inkonsistensi konstitusional, memperpanjang masa jabatan DPRD terpilih 2024 hingga 2031, dan memicu potensi instabilitas politik akibat pengisian pejabat sementara untuk kepala daerah.


Implikasi praktis juga mengkhawatirkan. Pemisahan meningkatkan biaya logistik, keamanan, dan kampanye, membebani anggaran negara di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Jeda waktu berisiko memperpanjang ketegangan politik, memperdalam polarisasi, dan mengganggu stabilitas sosial. Dari sudut teori kritis, putusan ini mencerminkan kontradiksi: di satu sisi, MK berupaya melindungi kedaulatan rakyat; di sisi lain, intervensinya melemahkan checks and balances, menempatkan MK sebagai “super body” yang berpotensi memicu otoritarianisme konstitusional.


Reformasi Sistemik: Kunci Keberhasilan


Pemisahan pemilu bukan solusi ajaib. Tanpa reformasi sistemik, putusan ini hanya memindahkan masalah. Pertama, KPU harus merevolusi logistik dan teknologi informasi, dengan digitalisasi yang transparan dan tahan manipulasi. Kedua, pendidikan pemilih harus ditingkatkan untuk mendorong pilihan berbasis program, bukan emosi atau transaksi politik. Ketiga, regulasi ketat diperlukan untuk mengawasi masa kampanye, pendanaan, dan media sosial guna mencegah disinformasi. Keempat, pemilu daerah harus memperjuangkan otonomi lokal, bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan.


Kesimpulan: Langkah Berani, Risiko Tinggi


Agil alwar menyimpulkan putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah langkah ambisius untuk memperbaiki demokrasi Indonesia dengan mengatasi kebingungan pemilih, kelelahan penyelenggara, dan tenggelamnya isu lokal. Namun, tanpa reformasi logistik, pendidikan pemilih, dan penguatan institusi, pemisahan ini berisiko menambah beban finansial, administratif, dan politik. Lebih jauh, intervensi MK yang melampaui kewenangan legislatif mengancam keseimbangan kekuasaan. Indonesia berhak atas demokrasi yang manusiawi dan rasional, tetapi keberhasilan putusan ini bergantung pada komitmen politik untuk reformasi substansial, bukan sekadar ilusi perbaikan.

×
Berita Terbaru Update