Memimpin dengan Telinga Terbuka: Kritik untuk Prabowo Subianto
News.UIN
Last Updated
2025-06-27T11:32:32Z
 |
Oleh : Agil A-M Wasekum : PPPA HMI KOM M. DARWIS |
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang berjalan sejak Oktober 2024, berada di bawah sorotan tajam publik. Pernyataan “ndasmu” dalam pidato HUT ke-17 Partai Gerindra pada Februari 2025, disertai tawa pejabat dan mimik meremehkan, menjadi simbol resistensi terhadap kritik. Di tengah isu kabinet gemuk dan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang membebani rakyat, sikap ini bukan sekadar selip lidah, melainkan cerminan tantangan demokrasi: bagaimana pemimpin merespons suara rakyat tanpa menganggapnya ancaman? Tulisan ini menawarkan perspektif baru tentang pentingnya keterbukaan dalam kepemimpinan, dengan solusi konkret untuk memperkuat demokrasi dan kepercayaan publik.
Kabinet Gemuk: Efisiensi atau Akomodasi Politik?
Komposisi Kabinet Merah Putih dengan 44 kementerian memicu kritik sebagai “kabinet gemuk”. Dibandingkan Tiongkok (26 kementerian untuk 1,4 miliar penduduk) atau Amerika Serikat (15 kementerian untuk 345 juta penduduk), jumlah ini tidak proporsional untuk Indonesia dengan 280 juta jiwa. Pengamat politik Cecep Hidayat menilai kabinet ini lahir dari akomodasi politik, memadukan tim kampanye, pendukung Jokowi, dan teknokrat, yang berisiko menciptakan ketimpangan kompetensi. Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran kementerian baru menambah beban APBN hingga Rp150 triliun per tahun, di saat pertumbuhan ekonomi hanya 4,9 persen pada kuartal I 2025.
Kritik ini bukan sekadar soal angka, tetapi efektivitas kebijakan. Dengan kenaikan PPN 12 persen yang memukul pedagang kecil, seperti yang dikeluhkan seorang pedagang pasar di Jakarta, publik mempertanyakan apakah struktur pemerintahan yang besar ini mendukung kesejahteraan atau justru menghambatnya. Respons Prabowo, yang membandingkan Indonesia dengan Timor Leste, terasa tidak relevan mengingat perbedaan skala masalah. Sikap defensif ini memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat, menegasikan esensi demokrasi partisipatif.
Resistensi terhadap Kritik: Bayang-bayang Orde Baru
Pernyataan “ndasmu” mencerminkan resistensi yang lebih dalam terhadap kritik. Pengamat politik Teuku Harza Mauludi menyebut sikap ini kurang bijaksana, tidak mencerminkan kematangan seorang presiden. Lebih jauh, pernyataan Prabowo bahwa kritik harus “benar” menurut definisi negara mengingatkan pada kontrol Orde Baru terhadap kebenaran publik. Dalam demokrasi, kebenaran bukan monopoli penguasa, melainkan hasil dialog terbuka. Resistensi ini, menurut Harza, berakar dari lingkaran pendukung yang cenderung memuji, membuat kritik dari akademisi atau masyarakat dianggap ancaman. Akibatnya, ruang diskusi publik menyempit, dan kepercayaan terhadap pemerintahan tergerus, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan tingkat kepuasan publik menjadi 65 persen pada Maret 2025, menurut survei Indikator Politik.
Independensi Media: Ancaman di Balik Pertemuan
Pertemuan Prabowo dengan pemimpin redaksi media nasional pada April 2025 memicu kekhawatiran wamanet tentang independensi jurnalisme. Meski membahas isu anggaran dan geopolitik, interaksi ini menimbulkan persepsi tekanan terhadap media. Data Dewan Pers menunjukkan 43 persen wartawan merasakan tekanan tidak langsung dari pemerintah sejak 2024, sebuah tren yang mengkhawatirkan. Media, sebagai pilar demokrasi, harus tetap kritis tanpa rasa takut. Namun, jika interaksi pemerintah-media tidak transparan, jurnalisme berisiko menjadi alat propaganda, merusak fungsinya sebagai pengawal kebenaran.
Solusi: Kepemimpinan yang Adaptif dan Inklusif
Untuk mengatasi tantangan ini, Prabowo perlu mengadopsi kepemimpinan yang mendengar dan beradaptasi. Pertama, soal kabinet gemuk, evaluasi kinerja menteri berbasis kompetensi dan dampak nyata harus dilakukan dalam enam bulan. Reshuffle kabinet, meski sulit secara politik, adalah langkah berani untuk memastikan efisiensi. Kedua, resistensi terhadap kritik dapat diatasi dengan meniru pendekatan Angela Merkel, yang menerima kritik dengan rendah hati sambil mempertahankan visi strategis. Forum publik terbuka, baik secara langsung maupun melalui platform digital, dapat menjadi saluran dialog yang mengurangi kesan anti-kritik. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebut Prabowo responsif terhadap kritik PPN untuk barang mewah; pendekatan ini harus diperluas. Ketiga, untuk menjaga independensi media, pemerintah perlu mendukung dewan pers independen dan memastikan interaksi dengan media dilakukan secara terbuka, tanpa tekanan.
Keterbukaan sebagai Jalan Kemajuan
Pemerintahan Prabowo memiliki potensi besar, terutama dengan komitmen antikorupsi yang mendapat kepuasan publik 73,6 persen menurut Litbang Kompas. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika keterbukaan menjadi pijakan. Kritik bukan musuh, melainkan cermin untuk perbaikan. Dengan menyusun kabinet yang efisien, mendengar suara rakyat, dan menjaga independensi media, Prabowo dapat membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang kuat sekaligus bijaksana. Demokrasi yang sehat membutuhkan telinga yang terbuka, bukan pintu yang tertutup.