×

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Koperasi Merah Putih: Nasionalisme Ekonomi atau Manuver Politik yang Rapuh?

Senin, 23 Juni 2025 | Juni 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-23T10:30:44Z

 

Oleh: Agil A-M
Wasekum : PPPA Hmi kom. M. Darwis


Koperasi Merah Putih, yang belakangan ramai diperbincangkan, digadang-gadang sebagai wujud nasionalisme ekonomi untuk menggenjot kemandirian bangsa. Namun, di balik retorika heroiknya, benarkah inisiatif ini murni untuk kesejahteraan rakyat, ataukah sekadar manuver politik berbungkus idealisme? Lebih jauh, apakah koperasi ini mampu bertahan di tengah tantangan struktural ekonomi Indonesia, atau justru berpotensi menjadi proyek utopia yang rawan ambruk?



Konsep Koperasi Merah Putih, yang mengusung semangat gotong royong dan kedaulatan ekonomi, pada dasarnya menarik. Dalam narasi pendukungnya, koperasi ini diharapkan menjadi benteng melawan dominasi korporasi asing, sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi. Namun, gagasan ini bukan barang baru. Sejak era Soekarno, koperasi telah menjadi jargon nasionalisme ekonomi, tapi kerap gagal karena mismanajemen, korupsi, dan kurangnya daya saing. Apa yang membuat Koperasi Merah Putih berbeda? Tanpa inovasi struktural dan pengelolaan yang transparan, proyek ini berisiko mengulang kegagalan pendahulunya.



Pertama, mari kita bedah soal nasionalisme ekonomi. Dalam konteks globalisasi, gagasan ini sering kali terdengar romantis, tapi sulit direalisasikan. Indonesia, dengan ekonomi yang bergantung pada investasi asing dan pasar global, tidak bisa begitu saja menutup diri. Koperasi Merah Putih, yang konon akan memperkuat UMKM lokal, harus bersaing dengan rantai pasok global yang efisien dan teknologi canggih milik korporasi multinasional. Tanpa strategi konkret—seperti digitalisasi, pelatihan sumber daya manusia, atau akses modal yang terjangkau—koperasi ini berpotensi menjadi sekadar simbol tanpa dampak nyata. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa dari 127.000 koperasi di Indonesia pada 2023, hanya 20% yang aktif dan sehat. Angka ini seharusnya menjadi peringatan keras.



Kedua, aroma politik di balik Koperasi Merah Putih sulit diabaikan. Inisiatif ini muncul di tengah tahun-tahun menjelang pemilu, ketika para elite politik berlomba memamerkan "kepedulian" terhadap rakyat kecil. Koperasi, dengan citra gotong royongnya, adalah alat yang ampuh untuk membangun basis massa. Namun, jika koperasi ini dimanfaatkan sebagai kendaraan politik—misalnya, untuk mendistribusikan bantuan sosial atau menarik suara—maka integritasnya akan tercoreng. Pengalaman masa lalu, seperti kasus koperasi yang menjadi "mesin uang" oknum politisi, menunjukkan bahwa campur tangan politik sering kali merusak esensi koperasi. Publik berhak curiga: apakah Koperasi Merah Putih benar-benar untuk rakyat, atau hanya proyek kosmetik untuk kepentingan elektoral?



Ketiga, soal keberlanjutan. Koperasi Merah Putih, meski diwarnai idealisme, menghadapi tantangan praktis yang pelik. Salah satunya adalah mentalitas masyarakat. Budaya konsumtif dan rendahnya literasi koperasi membuat banyak warga lebih memilih berbelanja di platform e-commerce atau toko ritel modern ketimbang mendukung koperasi lokal. Di sisi lain, pengelolaan koperasi sering kali dihambat oleh kurangnya profesionalisme. Tanpa sistem tata kelola yang kuat, mulai dari akuntansi hingga distribusi keuntungan, koperasi ini rawan didera konflik internal. Belum lagi isu korupsi, yang seperti kutukan, kerap menggerogoti inisiatif berbasis kolektivitas di Indonesia.



Lantas, apakah Koperasi Merah Putih sekadar utopia? Belum tentu, tetapi potensi kegagalannya besar jika tidak disertai langkah konkret. Pertama, koperasi ini harus berbasis teknologi. Platform digital dapat menghubungkan UMKM dengan pasar yang lebih luas, sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa koperasi sukses di negara lain, seperti Mondragon di Spanyol. Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama. Publik harus memiliki akses terhadap laporan keuangan dan pengelolaan koperasi untuk mencegah penyelewengan. Ketiga, pendidikan koperasi harus digalakkan, baik untuk pengelola maupun anggota, agar semangat gotong royong tidak sekadar slogan.



Namun, di atas semua itu, Koperasi Merah Putih harus bebas dari kepentingan politik. Jika inisiatif ini hanya menjadi alat untuk meraup suara atau memperkuat oligarki, maka ia akan kehilangan legitimasi di mata rakyat. Nasionalisme ekonomi bukanlah soal jargon atau simbol, melainkan tentang memberdayakan rakyat secara nyata. Tanpa komitmen ini, Koperasi Merah Putih berisiko menjadi monumen lain dari ambisi yang gagal.



Pada akhirnya, Koperasi Merah Putih adalah cerminan dilema Indonesia: antara cita-cita luhur dan realitas yang keras. Ia bisa menjadi langkah menuju kemandirian ekonomi, tetapi juga bisa jatuh sebagai proyek utopia yang rapuh. Pilihan ada di tangan pengelola dan masyarakat. Apakah kita mampu belajar dari kegagalan masa lalu, atau justru mengulanginya dengan kemasan baru? Waktu akan menjawab, tapi skeptisisme yang sehat tetap diperlukan.

×
Berita Terbaru Update